Kafe ini sepi menjelang senja. Aku menatap ke luar jendela dari tempatku duduk sendiri seraya menyeruput secangkir kopi hangat. Berbatang-batang rokok tak lepas dari hisapanku. Lengkingan hisapan kuat sebagai pelepas jemu.
Aku mengedar pandang berkeliling. Deretan rumah tua berjejer di sepanjang jalan. Ada pula galeri lukisan, gedung bioskop, dan tempat-tempat perbelanjaan. Truk kemudian memelan melewati jalanan dengan simpang yang semrawut. Suara orang ramai seperti berebut masuk kereta. Dan teriakan para pengemis, penjual asongan, serta beberapa waria pecah di pinggir jalan. Mereka yang berusaha melarikan diri saling berkejaran dengan oknum satpol PP.
Ketika akhirnya kerumunan orang yang melihat aksi itu kemudian berlalu pergi, truk lepas dari perangkap persimpangan. Lalu pandanganku beralih pada seorang anak lelaki yang berdiri di mulut lorong. Sendiri. Wajahnya tampak lebih kumal dari pakaian yang dikenakannya. Anak itu tinggal di lorong. Sebuah lorong yang diapit oleh dua gedung yang menjulang tinggi. Jika malam tiba, lorong itu tampak gelap, kecuali rumah kayu di ujung lorong yang hanya ada satu lampu penerang. Lampu warna kuning pudar.
Gelap.
Konon, kata warga, anak lelaki itu adalah jelmaan Dewi Bulan yang turun dari singgasana langit. Ya, anak itu terlahir saat bulan purnama menjelang. Entah benar atau tidak. Mitos itu selalu menyertai jika orang-orang membicarakannya. Perihal anak lelaki itu, di malam bulan purnama, ia menjerit dalam tangisan kencang. Suara tangisan yang terdengar dari arah sungai langsung membuat warga diterpa rasa penasaran. Lalu, warga berbondong-bondong ke arah sungai di larut malam. Pada tepian sungai itulah, warga menemukan seorang bayi lelaki. Wajahnya terpancar oleh cahaya purnama. Dari situlah mitos itu mulai berkembang. Orang-orang memanggil anak lelaki itu, Purnama.
Saat itu, tak ada warga yang mau merawat Purnama kecil, kecuali seorang lelaki pengangguran yang kemudian merawat Purnama. Dan sekarang, Purnama telah tumbuh menjadi anak yang mampu berlari lincah, anak lelaki berumur tujuh tahun. Ia tak memiliki teman satupun, ia selalu berceloteh dengan dirinya sendiri. Bahkan di antara tawa anak-anak sebayanya, ia sering tertawa sendiri.
Anak itu terus menarik perhatianku. Aku menghancurkan rokok yang tinggal seujung kuku di asbak tanah liat, kemudian pergi meninggalkan kafe.
***
“Apa yang sedang kau lakukan di sini, Nak?” tanyaku, berjongkok di hadapan Purnama.
Ia memandangku, tak menjawab sekilas yang kutanyakan, lalu berpaling pergi dariku. Berlari. Ia tampak ketakutan saat bertemu denganku. Aku pun mengejarnya. Melewati lorong sempit yang hanya dilalui sepeda motor.
Di penghujung lorong, kutemui sebuah rumah kayu. Ada suara gemerisik dari rumah itu, bunyinya seperti gembok yang terkunci. Kemudian kurogoh saku celanaku dan mendapati dua batang cokelat. Ketika aku berjalan beberapa langkah ke rumah itu, tak ada lagi suara gemerisik. Yang kudengar hanya suara angin senja.
Dingin.
“Aku tahu kalau kau ada di dalam. Bukan maksudku untuk menakut-nakutimu,” kataku, lalu mengetuk pelan pintu yang terbuat dari bambu. “Mmmh, aku punya dua cokelat manis. Kalau kau mau, aku akan memberikannya untukmu.” Tak ada jawaban yang kudengar. “Oke, aku akan pergi.”
Belum aku membalikkan badan, tiba-tiba kudengar suara pintu yang berderak. Dari pintu yang terbuka sebagian, kulihat Purnama bersembunyi di balik pintu. Lalu, aku mendekatinya. Kucoba untuk mengulurkan dua cokelat yang kubawa kepadanya. Awalnya ia agak ragu menerimanya. Matanya nyaris tak lepas memandangku. Tapi akhirnya, ia keluar dari balik pintu dan mengambil dua cokelat itu. Dengan lahap, ia memakannya.
“Apa kau sendiri?” aku mengawali pembicaraan seraya duduk di atas dipan.
Purnama menganggukkan kepala, lalu memandangku. “Aku menunggu Bapak.”
“Di mana Bapakmu?”
“Kerja. Bapak akan pulang ketika larut malam.”
“Memangnya Bapakmu kerja di mana? Kenapa sampai larut malam?”
“Di jalanan. Saat senja tiba, Bapak akan menjelma menjadi perempuan. Selalu berdandan pakai lipstik, anting-anting, dan apapun itu. Bapak tak ada bedanya seperti perempuan. Aku takut sekali. Aku takut sendiri. Aku takut Bapak dipukul oleh pasukan berseragam hijau yang jahat tadi. Dan aku takut Bapak dipenjara. Padahal Bapak hanya mengamen untuk mencari uang, untuk makan kami sehari-hari, hanya saja penampilan Bapak yang beda.”
“Maksudmu?”
“Bapakku adalah seorang waria.”
Aku tertegun. Ketika akhirnya lampu penerang di ketinggian gedung menyala, aku larut pada suatu kisah yang membawaku menerobos masa lalu. Dari waktu yang berlalu, kampungku gempar lantaran seorang wanita tiba-tiba hamil tanpa suami. Aib itu mulai terkuak setelah diketahui perut wanita itu semakin buncit.
Cakap warga mulai merebah bagai layar terkembang. Hingga pada suatu malam, saat kandungan wanita itu menginjak sembilan bulan, warga berbondong-bondong ke rumah wanita itu. Celaka telah datang padanya.
“Najis. Usir wanita hina itu,” sorak warga.
“Kami tidak ingin kampung ini terkena celaka,” sahut warga lain yang kemudian mendorong tubuh wanita itu hingga tersungkur di atas tanah.
Aku membencinya sejak lama, tapi di sisi lain, aku menyayanginya. Aku ingat, aku pernah meludahi mukanya. Ia menangis menatapku. Kupandang kembali matanya. Lalu, ia pergi.
“Siapa wanita itu?” tanya Purnama.
“Ia adalah kakak kandungku.”
Aku telah menyaksikan air mata telaga kakakku. Dari kejauhan, aku tahu bahwa ia takkan kembali lagi. Sejak hari itu, aku terakhir kali memandang matanya. Ia benar-benar tak pernah kembali.
“Ah, wanita... di masa remaja tumbuh sebagai pembawa aib dan celaka bagi keluarga,” pikirku.
“Tapi itu tidak adil. Wanita terlahir bukanlah sebagai pembawa aib dan celaka. Kau salah. Biarpun bagaimana, yang melahirkan kita adalah wanita. Ibu.”
“Oke, kau benar. Apalagi sekarang aku sudah bertunangan dengan wanita cantik yang sangat kucintai. Dan suatu saat, ia pun akan menjadi seorang ibu, lalu melahirkan kehidupan baru. Sang kecil yang kelak juga akan tumbuh sepertimu,” kupandang cincin yang melingkar di jari manisku. Cincin pertunangan. “Pemikiranmu bagus. Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?”
“Bapak yang mengajariku. Bapak selalu menceritakanku tentang arti kehidupan. Tak mudah menjadi lelaki. Begitu pun menjadi perempuan. Namun, lebih tak mudah menjadi lelaki yang menyerupai perempuan seperti Bapak—yang selalu dihina.”
Karena, mereka ingin sepenuhnya memiliki kebebasan atas hak mereka, seperti camar yang terbang di langit senja...
***
Malam.
Keesokan harinya aku kembali ke rumah Purnama. Di sana kudapati Purnama terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Wajahnya tampak pucat. Saat kudekati dan kuletakkan tanganku di dahinya, panas sekali. Tubuhnya menggigil kedinginan. Lantas, aku sangat khawatir dengan keadaannya.
“Ayo, aku akan membawamu ke rumah sakit!”
“Aku tidak mau. Aku ingin menunggu Bapak.”
Baiklah. Aku bergegas menelusuri jalan menuju apotek dengan tergesa-gesa. Melewati jalanan kota yang gelap tanpa lampu penerangan. Berjalan, berjalan, dan berjalan cepat. Langkah kakiku menyerak debu-debu yang berhamburan tak beraturan. Sesekali, kendaraan lewat dengan mesin menggema, lalu lenyap di kelokan. Aku tak tahu seberapa kusut diriku. Kemejaku sangat berantakan. Kali ini aku hanya terbayang oleh Purnama yang sedang sakit. Sendiri di rumahnya. Belum sampai di apotek, di jalanan yang gelap, ada seseorang yang menabrakku dari belakang.
“Maaf,” hanya itu yang dikatakannya.
Tapi aku mulai merasa kalau wanita berbaju merah ketat yang menabrakku itu seperti mengambil sesuatu dari saku celanaku, kurogoh. Ah sial, dompetku. Lalu aku berlari mengejarnya, tetapi ia sama sekali tak menoleh sekilas ke belakang.
“Hei—kau mencuri dompetku,” teriakku.
Saat kuraih dan kutarik tangan kirinya, ia dengan mudah melepaskan diri, tapi gelang yang dikenakannya lepas dan jatuh. Aku segera memungut gelang itu. Sesaat aku tertegun mengamati gelang yang tak asing bagiku. Dan sialnya, wanita itu lolos dari genggaman eratku. Mestinya ia tahu bahwa aku sangat membutuhkan uang di dalam dompet itu untuk menyelamatkan nyawa anak kecil yang malang.
Belum jauh wanita itu pergi, aku berusaha untuk mengejarnya. Tapi seketika, melintas kendaraan operasional satpol PP yang kemudian menggiring wanita itu naik ke kendaraan operasional bersama mereka.
Di kantor satpol PP... Aku datang untuk mengambil dompetku. Dompet itu bukan hanya berisi uang, tapi juga surat-surat berharga dan foto tunanganku.
Begitu melewati ruangan petugas, pandanganku mendarat pada seorang wanita yang meronta-ronta di hadapan oknum satpol PP. Wanita itu memohon agar dilepaskan. Sejenak aku mengamati wanita yang sedang memunggungiku. Ah, tak salah lagi, wanita itu pasti yang mencuri dompetku. Wanita berambut panjang dan berbaju merah ketat dengan rok pendek. Aku bergegas masuk ke ruangan itu.
“Ada apa?” tanya salah seorang oknum satpol PP.
“Pak, dompet saya yang berisi uang dan surat-surat berharga telah dicuri. dan wanita ini yang mencuri dompet saya,” kataku dengan suara keras.
Kemudian wanita itu berbalik badan ke arahku. Matanya menangkapku, tapi dengan segera aku berpaling ke arahnya. Ketika kami saling memandang, aku sangat terkejut melihat wanita yang kini duduk memandangku. Pun dirinya.
“Septi—”
“Apa kau mengenalnya?” tanya oknum satpol PP yang duduk di hadapanku.
“Ya, aku sangat mengenalnya. Tak kusangka, wanita yang mencuri dompetku adalah tunanganku sendiri. Kenapa kau lakukan itu, Septi?”
Mendengar ucapanku, oknum-oknum satpol PP yang ada di ruangan langsung tertawa. “Rupanya kau telah dibodohi wanita jadi-jadian ini.”
“Apa maksud Bapak?”
“Dia ini adalah waria. Itu berarti kau akan menikahi seorang waria. Namanya bukan Septi, tapi Sapto.”
“Oke, mungkin kalau pagi namanya adalah Sapto, tapi kalau malam ia akan menjelma menjadi Septi yang liar di jalanan kota,” sahut oknum satpol PP yang lain, lalu tertawa.
Mendadak tubuhku langsung ambruk, bertopang pada kedua lutut. Aku benar-benar terkejut mendengarnya. Pikiranku mulai berkecamuk. Setelah menjalin hubungan pacaran dalam waktu yang lama, hingga akhirnya bertunangan dan akan menikah, tapi semuanya penuh dengan kebohongan. Palsu. Aku merasa malu pada diriku sendiri, terlebih keluarga dan orang-orang di sekitarku. Tunanganku, seorang waria. Aku tak tahu, harus marah ataukah sedih. Aku sudah terlanjur mencintainya setengah mati. Air mataku mulai mengalir, tapi tertahan di pelupuk mata.
“Kenapa kau tega membohongi aku?” bentakku, marah. “Najis.”
“Maafkan aku, Mas. Aku ingin mengatakan yang sebenarnya kalau aku adalah seorang waria, tapi aku takut. Aku takut kau akan meninggalkanku. Karena aku sangat mencintaimu. Tentang dompet yang kucuri, aku terpaksa melakukannya. Karena aku benar-benar membutuhkan uang untuk biaya berobat anakku. Mas, tolong aku! Bantu aku bebas dari tempat ini. Anakku sedang sakit, Mas. Tolong...!” pintanya, meneteskan air mata.
“Pak, lepaskan saja dia! Saya yang menjaminnya.”
***
Dari rumah Purnama, kudengar suara tangisan. Kupikir bapak Purnama sudah pulang dan membawakan obat untuk Purnama. Tak lama kemudian, tangisan itu mulai mengeras, dan jeritan semakin keras, lalu berteriak, “Purnama! Purnama!” Beriringan dengan itu, kudengar suara seperti kursi yang dibanting. Lalu, diam-diam aku mengintip dari balik pintu yang setengah terbuka. Yang kulihat bukanlah seperti bapak Purnama, tapi seorang wanita. Aku menatap punggungnya.
Dan, oh, dia...
Aku kembali bertemu dengan wanita itu. Tunanganku.
“Septi—”
Seketika, ia menengok ke belakang. Kami sama-sama saling terkejut. Benar, ia adalah Septi, ah bukan, tapi Sapto. Ia tergeragap dan bangkit. Berusaha untuk menjauh dariku, tapi aku semakin berjalan mendekat yang seolah mengepungnya. Pipinya basah oleh gengangan air mata. Jika aku melihatnya lagi, ingin rasanya kutampar mulut wanita jadi-jadian itu dengan seonggok kayu. Mulut pendusta yang telah mencoreng mukaku dan membuatku sangat malu.
Pada waktu orang bersenang-senang membicarakan pernikahan, aku tidak lagi. Maka rasa-rasanya impianku telah hancur. Padahal, seminggu lagi adalah waktu ketika aku akan mengucapkan ijab kabul di depan penghulu. Bahkan semua telah dipersiapkan dengan matang. Tinggal menunggu waktu, tapi kali ini aku hanya bisa melamunkan nasib yang menimpaku.
“Kenapa kau mengikutiku?”
“Aku tidak mengikutimu. Dan tidak akan pernah mengikutimu lagi setelah ini. aku hanya mau memberikan obat untuk Purnama. Sungguh, aku muak melihat wajah topengmu. Sekarang aku menyadari bahwa masa lalu kita penuh dengan kenangan pahit. Kau tahu, kenangan pahit di antara kita akan melekat lebih kuat dalam pikiranku ketimbang kengan manis yang hanya secuil.”
“Kumohon jangan permasalahkan ini lagi, Mas. Puaskah kau melihat keadaan Purnama sekarang. Hah—” teriaknya dengan jeritan keras.
Yang paling mengejutkan, ketika pandanganku beralih ke arah Purnama, aku seperti melihat Purnama tidur tanpa napas. Tubuhnya diam tak bergerak sekilas. Kaku. Wajahnya sangat pucat dan hidungnya mengalir sedikit darah. Kemudian aku berjalan mendekati Purnama.
“Apa yang telah terjadi dengan Purnama?”
“Air matanya mulai merambah ke pelupuk pipi. Basah, semua. “Nadinya telah berhenti. Purnama meninggal, Mas.”
Ketika aku menanyakan kepadanya apakah Purnama adalah anaknya, ia menjawab iya. Anak kandungnya. Tapi aku sama sekali tak menduga bahwa seorang waria pun bisa mempunyai anak kandung. Selama kami berpacaran, bertahun-tahun, ia tak pernah menceritakan padaku bahwa ia sudah mempunyai seorang anak. Anak kandung. Apalagi mengajakku ke rumahnya, tak pernah sekalipun.
“Dulu, aku pernah menghamili seorang wanita desa. Saat itu aku benar-benar khilaf, aku telah dijebak. Teman-temanku menegukku dengan berbotol-botol bir dan membuatku mabuk berat. Lalu aku dibawa ke sebuah rumah kosong. Di rumah itu, aku melihat seorang wanita yang sedang pingsan. Dan dari situlah, aku memperkosanya, hingga kuketahui ia telah mengandung anakku. Kemudian saat aku kabur dari rumah itu, aku terjatuh ke jurang dan ditolong oleh sekawanan waria yang sekarang menjadi temanku. Bukan berarti aku melarikan diri dari tanggung jawab, aku bersembunyi dan tak pernah menampakkan diri di hadapan wanita itu, tapi aku selalu memperhatikan wanita itu dari kejauhan. Apalagi dengar-dengar wanita itu sedang dipasung oleh warga di kandang bekas kambing.”
“Tunggu. Tadi kau bilang wanita itu dipasung di kandang bekas kambing.” Ia menganggukkan kepala. “Siapa nama wanita itu?”
“Yang kudengar dari salah seorang warga, nama wanita itu adalah Silvana. Kata orang, Silvana adalah wanita penyuka sesama jenis.”
Astaga. Sontak aku terkejut. Maksudnya, mendengar ucapan yang mengatakan nama Silvana.
“Brengsek, kau. Biadap—” kudorong tubuh Sapto dengan hentakan keras hingga ia terjatuh. “Kau tahu, siapa Silvana sebenarnya. Dia adalah kakak kandungku. Teganya kau menodainya. Sekarang di mana dia berada?”
“Aku tidak tahu. Kemungkinan ia meninggal bunuh diri, tenggelam di sungai setelah membuang Purnama ke sungai.”
Kini aku mulai menangis. Tak kusangka, Purnama adalah anak dari kakak perempuanku. Air mataku telah menjelma tirai-tirai hitam dalam deting kematian. Seperti hujan yang menggaris malam, kematian juga telah menggaris perpisahan. Aku memeluk tubuh Purnama. Erat sekali. Lama sekali.
.....
O, ini seperti kutukan bagiku. Sial.
---------------------------------------------------
NB: Cerpen "Anak Lelaki yang Tinggal di Lorong" Menjadi Nominator Cerpen Competition oleh Sekolah Tinggi Islam Bani Fatah (STIBAFA) Tambakberas, Jombang 2012
No comments:
Post a Comment