Social Icons

Pages

Wednesday, December 5, 2012

Pencuri Cerita Fiksi dan Boneka Kayu Si Emak

PROLOG
Aku kembali ke kampung kelahiranku. Semua telah berubah. Aku tertegun melihat deretan kios sembakau, buah-buahan, dan toko buku. Di jalan yang kini sudah beraspal, tak lagi seperti dulu yang penuh kerikil, kini melintas motor dengan cepat.
O, pohon beringin berbatang raksasa itu ternyata masih ada dan berdiri kokoh. Di bawah pohon itulah dua belas tahun silam terdapat sebuah warung kopi. Warung kopi yang terbakar habis tanpa sisa. Sepanjang ingatanku, pemandangan sekilas seketika membawaku kembali ke waktu yang berjalan mundur, melewati kenangan di masa kecilku.
*

Aku melihat dinding rumahku dipenuhi ide-ide emak. Emak sangat pandai berimajinasi, mengarang cerita fiksi. Aku suka membaca cerita fiksi karya emak. Emak berusaha menulis cerita-cerita fiksi yang mampu mengubah apapun. Apabila cerita fiksi emak tak mampu mengubah apapun jadi lebih baik, apalah arti menulis bagi emak—tak ada. Emakku adalah seorang penulis.
Sementara emak sedang mengarang cerita fiksi, aku sibuk melipati koran bekas dengan aneka bentuk origami. Lalu aku membalik halaman koran. Tiba-tiba di koran itu terpampang judul besar seperti judul cerita fiksi karya emak, tapi lain penulis.
“Emak,” teriakku. Emak berhenti mengarang, lalu menoleh padaku yang sedang tengkurap di lantai. “Ini kok mirip cerita fiksi Emak yang hilang.”
“Mana?”
Kemudian aku segera menghampiri emak. “Ini Mak. Minggu lalu aku juga lihat cerita fiksi Emak ada di koran ini, yang lain judul.”
Emak terkejut melihat karyanya terpampang di koran dengan nama penulis yang berbeda. Mungkinkah hilangnya cerita-cerita fiksi emak karena dicuri orang?
“Memang benar adalah cerita fiksi karya Emak yang pernah hilang.”
“Aku tak rela, Mak. Harusnya Emak yang terima honor, tapi malah penulis itu.”
Emak tersenyum. “Tidak usah, Safana. Biarlah Allah yang membalas. Tak selamanya kejahatan akan menang. Lama-lama kejahatannya pun akan terungkap.”
Lalu aku memeluk Emak dari belakang dan mencium kepala Emak yang berbalut kerudung. “Emak. Aku sayang Emak. Aku akan minta pada Allah agar honor yang sudah didapatnya dicuri oleh pencuri yang lain.”
Aku kembali melanjutkan merangkai origami. Sempat aku melihat emak meneteskan air mata, tapi lekas dihapusnya. Aku benci pada pencuri cerita fiksi itu. Ia telah membuat emakku menangis.
“Safana, jendelanya itu dibuka biar cahaya matahari bisa masuk!”
“Iya, Mak.”
Aku pun membuka jendela lebar-lebar, menyibak korden. Angin semilir masuk memenuhi sekeliling rumahku. Di rumah kayu inilah aku tinggal bersama emak. Tiada seorang bapak. Kata emak, bapakku sudah lama merantau ke tanah Sumatera, tapi mengapa tak kunjung kembali. Tak pun sebuah surat kuterima dari bapak. Tak pun sepeser uang emak terima dari bapak. Aku merindukanmu, bapak. Jika kurindu, aku hanya bisa memandangi foto hitam putih bapak, foto satu-satunya.
Kini emaklah yang jadi tulang punggung keluarga. Seorang emak yang tangguh. Seorang emak yang yang pantang kenal lelah.
Kemudian pandangan mataku mendarat pada seorang anak perempuan yang sedang bersembunyi di halaman rumahku, di pagar tanaman yang tersusun dari berbagai jenis bunga. Seperti emak, aku berselera menata tanaman dan memagarinya dengan pagar hijau, sehingga rumahku tampak asri. Aku tak tahu siapa anak itu. Ia sebaya denganku. Pakaiannya berdaster kumal. Pipinya bercampur debu. Aku mengamatinya dari balik jendela. Terik matahari mengomporinya. Aku pun keluar rumah seraya memeluk boneka kayu pemberian emak. Aku menghampiri anak itu.
“Kamu siapa?”
Ia menoleh padaku. Sejenak ia memandangku, tak mengatakan apapun. Tapi akhirnya ia berbicara sepatah kata. “Aku...”
Namun sebelum ia melanjutkan ucapannya, seseorang berteriak-teriak memanggilnya. “Keke. Sembunyi di mana kamu? Cepat keluar!” Teriakan itu terdengar semakin dekat. Anak itu semakin ketakutan.
“Tolong saya! Saya takut,” ia memohon padaku.
“Apa yang terjadi?”
“Keke,” bentak seorang lelaki yang sedang berdiri di hadapan kami.
“Ba... Bapak...”
Lelaki itu menghampiri anak itu, lalu menarik paksa lengan tangan anak itu. “Ayo pulang! Jangan pernah lagi menginginkan yang aneh-aneh. Buat apa kamu memikirkan tentang cita-cita. Kamu tak punya cita-cita. Lagipula semua anak di kampung ini tak ada yang memikirkan cita-citanya. Tak ada cita-cita, tak ada sekolah.”
Kemudian anak itu, Keke berusaha melepas tangan Bapaknya. Dan ia berani meladeni Bapaknya. “Kata siapa aku tidak punya cita-cita. Aku punya, Pak. Dan kata siapa anak seorang penari harus jadi penari juga.”
Mendengar itu, Bapaknya semakin marah. “Berani sekali kamu melawan Bapakmu. Ingat Keke, kamu itu cuma anak seorang penari. Anak orang miskin. Dan kamu terlahir sebagai perempuan, bukan laki-laki. Anak perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Kalau kamu berani membantah, akan kunikahkan saja kamu dengan Gus Djafar. Orang terkaya di kampung sebelah.”
“Siapa bilang anak perempuan tak boleh sekolah tinggi-tinggi. Bapak jangan asal ngomong! Pemikiran Bapak sanagt pendek,” sahut Emak yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu. “Anak ini berhak menggapai cita-citanya.”
“Jangan ikut campur urusanku! Ini anakku, bukan anakmu!” tegas lelaki itu pada Emak. Lalu ia menarik paksa Keke untuk segera pulang. “Ayo pulang!”
Aku melihat Keke menangis dan sangat ketakutan. Dari jauh, sempat ia menoleh padaku. Pelukanku pada boneka kayu semakin erat hingga Keke dan bapaknya menghilang di kelokan jalan.
***

Esok harinya, di pagi, aku dan emak beranjak menuju sekolah. Sekolah gubuk buatan emak. Selain jadi penulis, emakku juga seorang guru. Guru yang mendapatkan bayaran sukarela dari murid-muridnya. Salah satu dari muridnya adalah aku. Harapan yang paling sering kudengar dari mulut emak adalah keinginanya membangun kampung ini menjadi lebih baik, jauh lebih baik dari ibukota provinsi. Karena kampung ini adalah kampung terpinggir, pendidikan rendah, tak ada sekolah lain di kampung ini kecuali sekolah yang emak bangun. Emak menamai sekolah itu: SEKOLAH HARAPAN.
Aku berjalan di sepanjang jalan seraya menggandeng tangan emak. Berjalan di pinggiran rel kereta. Sementara tangan kiriku tak lepas dari memeluk boneka kayu. Aku memandang sekeliling. Jauh di sana, di pegunungan itu tak ada sawah, jadi para orangtua mempertahankan hidup dengan berburu binatang dan mencari ikan di sungai. Sehingga banyak warga yang memilih mengangkut nasib ke tanah rantau. Kampung ini terpencil. Kalau mau membeli sayuran atau makanan pokok seperti beras harus berjalan berkilo-kilo jauhnya menuju pasar. Tapi warga di sini cukup senang meski makan ubi.
Kuburan pun jadi ladang pemulung. Segerombol pemulung cilik dengan pakaian kumal berkeliaran di sekitar kuburan yang penuh oleh serakan bunga-bunga kamboja. Ayam-ayam liar mengorek tanah kuburan.
Lalu kami melewati rumah Mbah Bidjah yang bersebelahan dengan kuburan. Matanya sipit. Sanggul bulat kecil menempel di atas kepalanya. Mbah Bidjah juga adalah satu-satunya murid paling tua diantara murid lain. Usianya berkepala enam. Beliau ingin bisa membaca agar tak salah mengeja huruf. Dulu, ia pernah salah mengeja tulisan dokter. Akhirnya anak sulungnya meninggal karena salah obat.
“Mbah Bidjah,” sapa Emak dengan tersenyum.
Mbah Bidjah yang saat itu berada di halaman rumahnya, menghadap tampah besar berisi butiran-butiran beras segera membereskan tampahnya, lalu ikut serta beranjak ke sekolah dengan semangat.
Di sekolah, emak mengajari murid-muridnya tentang apapun seperti halnya pelajaran di sekolah pada umumnya. Juga belajar lewat semesta. Dan tentang beternak, berdagang, dan bertani. Sekolah ini dibangun dari gubuk bambu. Sekolah ini ada empat belas murid.
Lama kami belajar, tak dirasa ada seorang anak perempuan mengintip di dekat jendela. Sesekali aku menengok ke belakang, di luar jendela. Mataku mengawas padanya. O, anak itu... Keke. Emak pun mengalihkan perhatian pada Keke. Wajah emak sumringah bak mekarnya bunga mawar. Emak tersenyum semanis legit pada Keke. Sehingga Keke memberanikan diri untuk masuk dan ikut belajar bersama kami. Sementara emak membiarkan Keke duduk di bangku kosong di belakang.
Kali ini emak menceritakan cerita fiksi yang baru dibuatnya semalam. Kami senang dengan cerita fiksinya. Tentang seorang anak yang menginginkan boneka sama persis seperti dalam mimpinya. Tentang seorang pemulung kecil yang mencari sebuah surat kaleng berisi wasiat mamaknya hingga bersampai ke tanah rantau. Tentang bunga kembar yang tumbuh di tumpukan sampah.
***

Langit senja terpancar indah penuh mega di arah barat. Sesekali angin berkesiur, tak urung merenggut daun-daun kering hingga jatuh melayang di pelataran tanah. Debu pun bergulung di udara. Aku memandangi sepadang hijau yang tumbuh di seberang rel kereta di depan warung kopi. Jalan depan warung ini tak beraspal. Penuh bebatuan. Ketika senja menjelang, emak selalu berjualan kopi dan bubur ikan. Aku selalu menemaninya hingga larut malam.
Dari ambang pintu, aku memperhatikan Keke yang sedang mengorek-ngorek tanah, dan lebih tepatnya menggambari sesuatu dengan ranting pohon yang dipungutnya di tong sampah. Ia berjongkok di bawah pohon teduh, masih dengan diamnya. Ternyata ia jauh lebih pendiam seperti yang kukira. Matanya selalu tampak sayu. Bahkan tak pernah kulihat ia mengumbar senyum.
Kemudian aku menghampiri emak yang sedang mengelap mangkuk. “Mak kasihan Keke. Dia pengen banget punya boneka. Tapi Bapaknya tak pernah membelikannya. Katanya, ia baru akan dibelikan boneka apabila Keke mampu menarik perhatian banyak penonton dengan tariannya. Sedangkan Keke tak pernah suka menari. Boleh nggak Mak aku kasih boneka kayu Emak ke Keke?”
Emak pun tersenyum. “Tentu saja boleh. Sebagai gantinya Emak akan membelikanmu boneka barbie di hari ulang tahunmu yang ke delapan.”
“Beneran, Mak?”
“Iya. Panggil Keke kemari! Dia kan belum makan dari tadi siang. Emak sudah menyiapkan bubur ikan untuknya.”
Dengan girang, aku berlari menghampiri Keke seraya memeluk boneka kayu. Lalu ia mendongak ke arahku. “Keke, aku punya sesuatu untukmu.” Aku memperlihatkan boneka kayu yang kubawa pada Keke. “Ini adalah boneka kayu Emak. Kata Emak, boneka kayu ini boleh diberikan padamu.”
Sejenak ia memandangi boneka kayu itu, tapi akhirnya ia mau menerima pemberianku ini.
“Terima kasih,” ucapnya seraya tersenyum kecil.
“Safana,” panggil Emak. “Antarkan pesanan bubur ikan ini ke rumah Mbah Bidjah!”
“Iya, Mak.” “Tadi Emak juga memanggilmu. Emak sudah menghidangkan bubur ikan untukmu. Bubur ikan buatan Emak enak lho. Apalagi kalau ditaburi kerupuk rumput laut, malah tambah nikmat. Ayo masuk!” ajakku.
Sementara aku sedang mengantar pesanan ke rumah Mbah Bidjah, emak menyendokkan bubur ikan ke mangkuk Keke. Mereka duduk berhadapan. Keke melahap bubur ikan itu. Semua orang di kampung ini tahu kalau bubur ikan buatan emak yang paling enak, sehingga mencium aromanya saja sudah langsung menitikkan air liur. Semula emak hanya berjualan kopi susu, sehingga warung ini dinamai warung kopi. Tapi lama-lama, melihat warga yang lebih sering makan ubi, emak memutuskan untuk menjual bubur ikan.
“Mak, terima kasih untuk boneka kayu ini dan terima kasih karena tadi Emak udah ngebolehin Keke ikut belajar!”
“Iya, Keke. Lain waktu kamu boleh kok datang lagi ke sekolah. Tak usah permasalahkan bayarnya.”
Wajah Keke langsung berubah jadi sumringah. “Sungguh?”
Emak menganggukkan kepala.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar warung. “Keke... Keke...”
“Itu Bapak. Mak, Keke takut.” Keke bersembunyi di balik daster emak.
“Ternyata kamu di sini, Keke. Sudah berapa kali Bapak bilang, jangan pernah lagi menemui wanita ini. Dia cuma bisa merusak pikiranmu.”
“Tapi Emak orang baik, Pak. Emak mau menampung Keke untuk sekolah di Sekolah Harapan.”
“Omong kosong dengan sekolah. Sekolah tak bisa menghasilkan uang. Cuma buang waktu. Yang penting itu kerja. Ayo pulang!” Bapaknya menarik paksa Keke.
“Keke tidak mau.” Air mata Keke mulai jatuh. Menangis. “Mak, tolong Keke! Keke tidak mau pulang! Keke takut dipukul lagi oleh Bapak.”
Lalu emak berusaha mempertahankan Keke, tapi ternyata tenaga lelaki jauh lebih kuat dari perempuan. Bapak Keke mendorong emak hingga terjatuh dan kepalanya berdarah karena terbentur penyangga meja. Tanpa diduga, tangan emak mengenai dan menjatuhkan lentera yang terpasang rendah di dinding. Sekejap api merambah sekeliling. Membakar apa yang ada di dalam warung. Api itu semakin lama semakin membesar. Aku yang saat itu sedang bersembunyi di celah dinding langsung menjauh.
“Emaaak...” Keke buru-buru menghampiri Emak.
“Keke, lekas keluar! Selamatkan dirimu!” tegas Emak yang tergorek lemah.
Sekilas Keke menatap ke arah bapaknya dengan tatapan yang tajam. “Bapak jahat!” Dengan segera Keke keluar dari warung yang sudah dilahap api. Namun, bapaknya tak henti mengejar Keke.
Aku berusaha menyelamatkan emak, tapi warga menahan langkahku. Aku menangis semakin keras. Lalu aku meneriaki lelaki itu, bapak Keke seraya menudingkan jari telunjukku ke arahnya. “Pembunuh! Dia berusaha membunuh Emakku. Dia telah membakar warung kopi Emak,” teriakku keras di hadapan warga yang berbondong-bondong menyerbu pelataran warung kopi.
Mendengar teriakanku, warga langsung berlari mengejar lelaki itu. Dan dari jauh, seketika terdengar derak-derak gerbong kereta merangkak pelan. Rel kereta mulai bergetar. Kereta barang itu merangkak hingga bersampai pada jauhnya Keke berlari. Keke menoleh pada kereta barang. Ia berusaha menggapai tepian kereta dan menaiki kereta itu. Sedangkan warga berhasil menangkap bapaknya. Lelaki itu babak belur dihajar oleh warga.
Kini kereta barang itu telah membawa Keke pergi jauh hingga dua belas tahun berlalu. Aku melihat Keke menangis seraya memeluk boneka kayu, erat sekali. Sementara kertas-kertas beterbaran di dekat bapak Keke yang saat itu sedang pingsan. Kertas-kertas itu penuh dengan tulisan tangan emak. Sontak aku terkejut ketika kuketahui bahwa kertas itu tertulis cerita fiksi karya emak. Ternyata pencuri cerita fiksi itu adalah bapak Keke.
Tatapanku kosong menyaksikan senja yang mulai remang. Aku sendiri. Perlahan, bingkai air mataku jatuh di atas cerita fiksi emak.
*
EPILOG
Di bawah pohon beringin yang tak sejuk itu kini jadi tempat mangkal para pedagang kaki lima. Pun di sekitarnya banyak berjejer pohon yang tumbuh subur.
Lalu datang seorang perempuan berdiri di sampingku, dengan senyum ramahnya. “Kamu pasti bukan penduduk sini? Aku tak pernah melihatmu.”
Aku menatap wajahnya. Juga pada buku yang tengah dibawanya. Aku membaca judul besar yang terpampang di buku itu. Astaga! Judul itu. Aku terkejut membacanya.
“Boneka kayu si Emak. Apa kamu yang menulisnya?” tanyaku buru-buru. Perempuan itu menganggukkan kepala. “Jangan-jangan kamu... Keke!”
“Bagaimana kamu bisa tahu namaku?”
“Lupakah kamu padaku, Ke? Aku Safana.”
Ia terkejut. “Ya Tuhan, kamu Safana. Teman masa kecilku.”
Aku menganggukkan kepala. Dan kami saling berpelukan setelah lama tak berjumpa. Tak kusangka, Keke telah tumbuh menjadi sosok remaja yang cantik dan jauh lebih periang dari masa kecilnya.
“Kemana saja kamu? Aku menantimu sepanjang hari di tempat ini. Aku sendirian. Tapi setelah satu minggu berlalu, Pamanku datang dan membawaku pergi bersamanya ke kota. Di sana ia menyekolahkanku hingga perguruan tinggi. Seandainya saja Emak masih hidup, tentu Emak akan senang karena melihat masa depanku yang cerah. Aku jadi seorang guru, pegawai negeri sipil. Telah kuceritakan cerita-cerita fiksi karya Emak pada murid-muridku.”
“Kereta barang itu telah membawaku ke tempat yang jauh sekali. Kota rantau yang asing di mata. Aku kelaparan dan kedinginan. Untung ada boneka kayu Emak. Di kota rantau aku mencari uang dengan memainkan sandiwara boneka. Banyak yang menyukai sandiwaraku. Di kota rantau pula aku memulai hidupku dengan menulis novel ini. Akhirnya, tujuh tahun kemudian, setelah punya cukup uang, aku kembali lagi ke kampung ini. Dari royalty yang kudapat, aku membangun kampung ini bersama anak-anak didik Emak hingga kampung ini bisa tumbuh lebih baik seperti yang diinginkan Emak. Aku sudah mendengar dari warga, Emak meninggal di peristiwa terbakarnya warung kopi. Aku minta maaf. Harusnya aku menyelamatkan Emakmu.”
“Kamu tidak salah, Ke.”
Aku memandang sekelilingku. Dari jalanan bersimpang yang dulunya tanah kosong yang gersang kini menjelma bentangan sawah luas. Jalan ini tak ada nama, warga menyebut kampung ini: Kampung Rubiyah. Sontak aku terkejut membaca nama kampung ini. Astaga, itu nama emak!
Perlahan air mataku mulai jatuh. Aku takkan pernah menghapus huruf-huruf yang mengisahkan namamu, emak. Bagiku, emak adalah sebutir matahari di hati adalah sehujan inspirasi di tangan adalah berlapis pelangi di mata.
Mak, engkaulah inspirasi kami, Emakku yang kurindu.

---------------------------------------------------
NB: Cerpen "Pencuri Cerita Fiksi dan Boneka Kayu Si Emak" Menjadi Finalis 10 Besar Sayembara Menulis Cerpen Se-Jawa Bali 2012

No comments:

Post a Comment

Radio & tv online

SKIP 94.3 FM