Social Icons

Pages

Wednesday, October 17, 2012

Antara Lukisan dan Perempuan Matahari

1
; kuingin peluk hangatmu, Ibu...
Di bawah langit, matahari menampakkan sinarnya. Matahari telah menjelma menjadi sosok perempuan tangguh. Perempuan itu tinggal di ujung bukit yang dikelilingi lebih banyak pohon yang menjulang tinggi. Dan jika malam tiba, sekeliling bukit itu akan tampak sepi dengan lampu penerang yang remang. Karena pemukiman warga terbilang agak berjarak.
Ia hidup bersama seorang suami dan dua orang anaknya. Menjadi perempuan memang mudah. Yang penting bisa memasak, mengurus rumah, serta mengasuh suami dan anak. Itulah sosok ibu yang sebenarnya. Tapi bukan berarti menjadi seorang ibu tidak bisa melakukan pekerjaan kaum lelaki, tidak boleh bekerja.
Maka lima tahun silam, waktu telah menggubah sosok ibu bertangan lebih dari dua. Bukan hanya mengurus segalanya di rumah, tapi juga bekerja di bawah terik matahari. Ialah, seorang penari jalanan. Namanya, Sumi. Orang-orang menyebut Sumi sebagai perempuan matahari. Tidak mudah menjadi perempuan yang menyerupai matahari. Yang selalu menari dengan detak kaki rancak di bawah terik matahari. Lalu bersinggahsana di riuh jalanan kota. Tanpa alas kaki, tentunya.
Sumi berparas cantik dan lincah dalam menari. Dulu, sebelum Sumi memiliki suami, kaum lelaki berlomba meminangnya. Namun hanya satu lelaki yang ia pilih. Sura, begitulah orang-orang memanggilnya. Lelaki miskin yang selalu menghabiskan waktu dengan membuat topeng. Bahkan lelaki konglomerat pun ditolaknya mentah-mentah. Padahal banyak kaum lelaki yang berani membayar tinggi agar Sumi mau dipinang oleh mereka.
Hingga akhirnya, Sumi memilih menikah dengan Sura. Kabar pernikahan itu membuat gencar sang ibu dan warga sekitar. Pernikahan itu terjadi tanpa restu. Sampai-sampai ibunya mengutuki anaknya sendiri, Sumi.
“Kau tidak akan bahagia. Keluargamu akan hidup nelangsa, Sumi.”
“Maafkan Sumi, Ibu. Ini sudah menjadi pilihan Sumi. Karena Sumi hanya mencintai Kangmas Sura. Apapun yang terjadi nantinya, Sumi siap. Sumi akan menjalani kehidupan ini bersama suami Sumi.”
Konon, Sumi tinggal di sebuah gubuk yang penuh dengan topeng-topeng yang selalu dipakainya untuk menari. Topeng yang menumpuk di sudut ruangan itu menyerupai wajah manusia. Terkadang topeng-topeng itu selalu membisikkan suara-suara. Diam, tapi seolah berbicara antara topeng satu sama lain.
Setelah menikah, kehidupan Sumi bukan malah jadi orang kaya ataupun senang, tapi malah bertambah miskin dan sengsara. Sehari-hari Sura lebih suka menghabiskan waktu dengan melamun, bermain kartu, atau menyabung ayam. Terkadang membuat topeng-topeng yang tak berguna seraya menghisap seputung rokok. Asap-asap rokok itu acap kali berhambur memenuhi ruangan, menerpa wajah-wajah topeng. Bahkan satupun dari topeng-topeng itu tidak ada yang terjual, justru hanya sebagai tumpukan sampah di sudut ruangan.
Sumi adalah tulang punggung keluarga. Ia bekerja meraup selembar rupiah sebagai penari jalanan untuk menghidupi suami dan kedua anaknya.
Begitulah yang diceritakan oleh kakek.
“Lalu bagaimana kehidupan Sumi selanjutnya, Kek?” tanyaku seraya memandang lukisan Kakek yang masih basah oleh cat minyak. Sebuah lukisan yang menggambarkan perempuan matahari, Sumi.
“Kakek lelah. Besok akan Kakek lanjutkan lagi ceritanya. Pergilah bermain bersama kawan-kawanmu! Bersenang-senanglah!”
Kemudian aku berjalan ke arah jendela. Dari balik jendela, aku menatap kosong ke arah nenek yang tengah berdiri di tepi telaga. Aku menyaksikan nenek sedang membersihkan debu-debu kecil yang melekat di celah-celah tubuh batu. Ya, batu yang menyerupai bentuk manusia. Terukir sosok perempuan berambut panjang. Perlahan, saat kumemandang wajah batu itu, seolah batu itu seperti hidup. Batu itu menampakkan wajah sedih.
“Kek, apa benar bahwa Ibuku telah dikutuk Nenek jadi batu? Apa benar bahwa batu yang berdiri di samping Nenek adalah Ibuku?”
“Ah, kata siapa?”
“Nenek sendiri yang bilang padaku.”
“Jangan percaya ucapan Nenekmu! Itu tidak benar. Nenekmu itu hanya mengada-ada. Mungkin saking rindunya Nenekmu pada Ibumu. Kau tahu sendiri kan, bagaimana keadaan Nenekmu sekarang. Orang-orang selalu menganggap bahwa Nenekmu itu gila.”
“Seperti apa sih wajah Ibuku sebenarnya. Aku sangat merindukannya, Kek. Kuingin peluk hangat seorang Ibu.”
Lalu kakek menghampiriku, menepuk pundakku. “Jika tiba saatnya, Kakek pasti akan ceritakan padamu tentang Ibumu.”
“Kata Nenek, batu itu selalu menangis di malam hari.”
2
; kuingin peluk hangatmu, Ibu...
Malam. Di pinggir jalan, Sumi singgah di sebuah halte. Anak perempuannya menangis dalam gendongan Sumi. Seraya mendekap anak bungsunya, Sumi menyanyikan tembang Jawa untuk menenangkan anaknya dari tangisan. Tangisan yang menjerit dari rasa lapar.
Sekali-kali, saat ia pergi bekerja, ia tak pernah meninggalkan anak perempuannya di rumah. Apalagi meninggalkannya bersama Sura. Justru ia malah menitipkannya ke orang lain terdekat. Cukup sekali ia kehilangan anak perempuannya. Anak sulungnya pernah dibuang ke sungai oleh Sura. Karena Sura selalu menganggap bahwa anak perempuan hanya membawa aib jika kelak sudah beranjak remaja. Berbeda dengan anak lelaki yang bagi Sura lebih patut untuk dibangga-banggakan. Ya, dulu Sumi mempunyai tiga orang anak. Dua orang anak perempuan dan seorang anak lelaki.
Mengetahui anak sulungnya hilang karena dibuang Sura, Sumi marah dan belum bisa melupakan perlakuan keji sang suami. Sengit luka hati Sumi selalu terngiang dalam murka. Sungguh hina sekali perlakuan Sura. Perlakuan Sura lebih kejam seperti halnya seekor burung yang mempunyai anak cacat, lalu mendepaknya dari sarang. Dan juga seperti halnya seekor binatang buas yang memangsa anaknya sendiri ketika kelaparan mendera.
Kemudian Sumi beranjak pulang ke rumah, menanjak ke arah bukit. Daun-daun yang menyeruak dari ongokan ranting-ranting kering itu, menari-nari. Bagai hendak menjerat Sumi dan anaknya. Serta bagai hendak membisikkan kata-kata petaka.
Dari sisi lain, ada sepasang mata yang mengamati dalam kegelapan. Di antara bukit, pepohonan telah memunggungi rembulan. Saat mendengar gemerisik langkah kaki seseorang, Sumi berjalan mengendap-endap. Tak menoleh barang sekilas. Dan di kegelapan itulah, Sumi menghilang bersama anaknya. Seseorang lelaki berpakaian serba hitam membawa Sumi yang tengah pingsan karena obat bius. Begitu halnya anak Sumi, menangis sejadi-jadinya.
Sejak kejadian malam itu, Sumi tak pernah kembali hingga detik ini. Seiring rumor yang berkembang, hilangnya Sumi menjadi perbincangan warga, terlebih kaum lelaki yang selalu menanti-nanti tarian lincah Sumi. Tapi tak lama setelah hilangnya Sumi, muncul penari lain dengan wajah berbeda, bukan Sumi.
Begitulah yang diceritakan oleh kakek.
“Lanjutkan Kek, ceritanya! Kemana Sumi dan anaknya dibawa pergi?” pintaku seraya memandang lukisan baru Kakek, lukisan ilustrasi yang menggambarkan sosok Sumi dan anak bungsunya yang dibawa pergi oleh seorang lelaki.
Dalam cerita pendek antara lukisan dan perempuan matahari, Kakek selalu melukis sebuah lukisan baru. Agar aku bisa membayangkan tentang kehidupan Sumi yang sebenarnya. Lalu kuteguk teh hangat di atas meja.
“Entahlah, kemana lelaki itu membawa Sumi dan anaknya pergi. Bahkan tak seorang pun yang mengetahui, siapa lelaki itu?”
Dan di sudut ruangan mataku mendarat, ada sebuah lukisan yang entah berukiran apa. Lukisan yang tergantung di dinding itu selalu tertutup oleh kain tebal. Sesekali kakek tak pernah memperlihatkan padaku tentang lukisan itu.
“Ah, sudahlah. Cerita tentang Sumi dilanjutkan besok lagi. Apa kau tidak jualan? Hari sudah hampir siang,” lanjut Kakek.
“Ah, ya. Aku hampir saja lupa. Oke, aku akan pergi berjualan.”

***
Kota begitu lenggang. Sesekali ada kendaraan lewat dengan mesin menggema. Pohon-pohon berkesimpang-kesiur di antara lambaian angin dan burung-burung pun bertengger di atas dahannya. Pohon-pohon yang berjejer di sepanjang jalan tampak bagai mengenakan mantel salju. Sejuk, tapi panas.
Bus kemudian berhenti di halte, lalu para penjual asongan berebut masuk melewati sang kernet bus yang menunggu penumpang. Dan di seberang jalan, teriakan orang pecah bagai layar terkembang ketika ada seorang pencopet yang berlari dari kejaran massa. Sang pemilik tas itu menangis saat mendapati tasnya yang berisi berkas-berkas penting dan jutaan uang rupiah telah dirampas seorang pencopet liar. Di jalanan kota inilah, aku larut dalam sebuah cerita yang terhiruk di celah pendengaran dan penglihatanku.
Aku, seorang penjual bendera merah putih. Aku biasa berjualan di sela-sela maupun usai sekolah, lalu menjual bendera merah putih dengan berkeliling menggunakan sepeda tua. Sesekali tatapan orang-orang menyisir jalanan menuju ke arah lain. Aku tercenung di antara bayangan yang lamat-lamat menyelinap. Yang kudengar di ujung lampu merah adalah suara melodi. Yang kulihat di ujung lampu merah adalah sepasang detak kaki rancak.
Ya, seorang penari jalanan. Mungkinkah itu Sumi, ataukah penari yang lain? Aku tak tahu betul, apakah cerita kakek benar-benar nyata atau fiktif? Kusir dan seorang perempuan di atas delman yang lewat di sebelahku sekejap langsung mengalihkan pandangan ke arah penari bertopeng rupa cantik itu. Namun, saat topeng itu dibuka, rupa perempuan itu tak secantik topeng yang dikenakannya.
Lalu ada seseorang yang memanggil namaku, membuatku tersintak. Pandanganku beralih ke arah lain, di seberang jalan. Seorang lelaki sebaya denganku melambai-lambaikan tangannya, aku membalas lambaiannya. Nambo, namanya. Dan ia pun menghampiriku.
“Kau masih berjualan bendera?”
“Ya, beginilah. Kau tahu sendiri kan, aku lebih suka hidup mandiri. Meskipun Kakek membiayai sekolahku dengan uang pensiunan, tapi setidaknya aku ingin mencari uang jajan sendiri,” kataku, mengumbar senyum. “Lalu, apa yang kaulakukan di sini?”
“Aku menemani Ibuku bekerja. Penari itu adalah Ibuku. Ibu yang selalu bekerja untuk kehidupan dan sekolahku. Ibu yang hebat. Aku biasa membantu Bapakku membawa speaker untuk melodi tarian Ibu. Hei, mampirlah ke rumahku! Kebetulan aku mau pulang.”
“Mmmh, oke. Baiklah!”
Di Jalan Pattimura, tempat berderet toko buku, toko busana milik pedagang keturunan Arab, serta pusat oleh-oleh. Orang lebih sering berlalu lalang di area ini, terlebih rombongan keluarga dari ibukota provinsi. Sebuah rumah sederhana di pojok jalan, itulah rumah Nambo. Kemudian Nambo mengajakku masuk ke rumahnya, ke teras belakang.
Di rumah Nambo ada seorang anak perempuan sedang berlarian di ruangan rumah seraya menggenggam sepasang boneka. Lalu anak kecil itu duduk di dekatku, di atas lantai tanpa alas. Kemudian Nambo datang dan memberikan sepiring nasi dengan sepotong ikan goreng pada adiknya. Anak kecil itu melahap nasi yang menumpahkan remahan nasi keluar dari piring.
“Kau mau minum apa? Akan kubuatkan,” tanya Nambo.
“Ah, tidak usah! O—iya, apa itu adik perempuanmu? Anak kecil yang manis.”
“Yeah, itu adikku. Adik tiriku. Aku tak tahu betul bagaimana ceritanya aku bisa punya adik tiri. Dulu waktu aku kecil, aku sangat ingin mempunyai seorang adik perempuan, tiba-tiba saja Bapakku membawa pulang Meila ke rumah ini. Nama adikku adalah Meila. Meski ia bukan adik kandungku, tapi aku sangat menyayanginya.”
“Pasti enak ya punya adik. Bisa diajak bermain.”
“Ya, sangat menyenangkan. Mm, aku tinggal mandi dulu ya. Jaga adikku!”
“Oke.”
Aku menatap anak kecil itu. Mungkin usianya sekitar lima tahun. Anak manis bermata mungil. Aku bisa mendengar denyak kunyahnya; nikmat. Ia melahap nasi seraya memainkan bola karet. Saat bola itu menggelinding masuk ke dalam ruangan lain, ruangan gelap dengan pintu agak terbuka sedikit. Lalu anak itu mengalihkan pandangan ke arahku. Mungkin anak itu menginginkan agar aku mengambilkannya bola itu, meski anak itu hanya diam dan tak memintanya langsung padaku.
Oke! Aku akan mengambilkan bola itu. Perlahan, aku mendorong gagang pintu itu. Begitu pintu dibuka, di dalam ruangan remang itu, kulihat seorang perempuan mengenakan gaun putih seperti pengantin. Perempuan itu tengah tertidur di atas meja besi, ah bukan, tapi seperti setengah mati. Dan saat kulangkahkan kaki lebih dalam, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku langsung terkejut. Ah! Ha-hh! Ternyata pembantu Nambo.
“Jangan masuk ke ruangan ini! Nanti Bapak bisa marah. Ruangan ini memang lebih layak dikatakan sebagai tempat kenistaan. Keji. Terkutuk.”
“Sekilas kumemandang, di ruangan itu banyak sekali topeng. Dan seorang perempuan bergaun putih yang tengah tertidur.”
“Perempuan itu memang tengah tidur, tapi tidur panjang. Dalam sebuah keabadian di alam lain. Itu adalah mayat. Dan perempuan itu tlah lama meninggal.”
“Astaga! Lalu, kenapa tubuhnya bisa tetap utuh dan masih tampak cantik? Apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan itu?”
“Bapak telah membunuh perempuan itu, lalu mengawetkan tubuhnya. Yang kudengar, perempuan itu adalah simpanan Bapak. Orang yang pernah dipinang oleh Bapak, tapi selalu ditolak. Malam itu rumah sedang sepi, Bapak mengendap-endap menuju ruangan itu dengan membawa karung besar. Ketika aku mengintipnya di balik pintu, ternyata karung itu berisi mayat. Entah apa yang sudah terjadi sebelumnya. Tak ada yang tahu tentang kejadian ini, kecuali aku. Itulah sebabnya, anak istri Bapak atau orang lain sesekali tidak diperbolehkan masuk ke dalam ruangan ini. Dan sehari setelah kejadian keji itu, Bapak pulang membawa seorang anak kecil, Meila. Yang kemudian dijadikan anak angkat.”
“Kasihan sekali perempuan itu, Mbok. Ia meninggal karena dibunuh, lalu mayatnya tidak dikuburkan. Benar-benar tragis.”
“Mmmh—”

3
; kuingin peluk hangatmu, Ibu...
Sepulang dari rumah Nambo, aku beranjak pulang ke rumah. Di perjalanan, kudengar seekor anjing liar menggonggong. Lolong anjing terdengar keras. Beriring dengan itu, nenek berteriak-teriak. Aku segera menghampiri nenek. Kulihat nenek tergeragap, melindungi tubuh batu berbentuk manusia itu.
Kemudian nenek mengambil ranting pohon kering yang berada di bawah kakinya dan memukuli anjing itu. “Anjing keparat! Pergi kau!” Tapi anjing itu terus menggonggong galak. Lalu nenek memungut kerikil besar dan melemparkannya pada tubuh anjing. “Pergi! Jangan ganggu Sumi!” Tangannya bergerak meraih batu lebih banyak. Akhirnya anjing itu pergi.
Sontak aku terkejut mendengar apa yang barusan dikatakan oleh nenek.
Sumi.
Apa maksud dari ucapan Nenek tadi? pikirku. Aku langsung berlari ke dalam rumah, menghampiri kakek yang tengah melukis.
“Kek, apakah Sumi itu hanyalah cerita khayalan Kakek? Ataukah sosok Sumi benar-benar ada di kehidupan kita? Kenapa Nenek menyebut batu itu sebagai Sumi?”
Sejenak Kakek memandangku, lalu tersenyum dan menghela napas. “Oke. Mungkin sudah saatnya kautahu. Nenekmu menjadi gila karena mendengar kabar hilangnya Ibumu. Sepanjang waktu Nenekmu selalu berdiam diri di tepi telaga untuk menunggu kedatangan cucunya. Dan Nenekmu selalu menganggap bahwa patung itu adalah anaknya, Sumi.”
Aku terkejut mendengar perkataan Kakek. “Jadi, Sumi adalah Ibuku...”
“Ya, itu benar. Sumi adalah Ibumu yang selalu kaurindukan. Sumi yang telah lama menghilang dan hingga detik ini tak pernah kembali. Ibumu adalah sosok yang sangat tegar. Ia menjadi seorang penari jalanan hanya untuk anak-anaknya. Membeli sesuap nasi untuk makan anak-anaknya. Lagipula Bapakmu tidak bisa menjagamu dan adikmu dengan baik. Kini Bapakmu telah meninggal terbakar api. Malam itu, aku menemukanmu di gubuk Sumi, di tengah api yang membara. Kau menangis kencang. Takut dengan api yang seketika bisa melahapmu. Setelah aku berhasil mengeluarkanmu dari kobaran api itu, perlahan dinding-dinding gubuk itu runtuh, habis tertelan api. Dan roboh menimpa mayat Bapakmu.”
“Kenapa gubuk itu bisa terbakar, Kek?”
“Kakek tidak tahu. Kakek hanya melihat kerjapan di langit, seperti kebakaran dari arah bukit tempat Sumi tinggal. Dan pada saat itulah, aku sudah melihat gubuk Sumi dalam keadaan terbakar. Untung saja kau menangis kencang, jadi aku bisa tahu kalau kau ada di gubuk itu. Dan lukisan yang tertutup kain tebal itu adalah lukisan wajah Sumi seutuhnya.”
Kemudian kakek menghampiri lukisan yang selalu tertutup kain tebal, membukanya. Pandanganku mendarat pada lukisan yang tergambar wajah Sumi dan anak perempuannya. Ketika kupandang lukisan itu, sontak aku terkejut. Wajahku langsung pucat. Ha-hh! Astaga! Wajah Sumi mirip sekali dengan mayat perempuan bergaun putih di rumah Nambo.
“Dan anak perempuan dalam gendongan Ibumu adalah adik kandungmu. Meila.”
Aku berbalik badan. Menyibak korden dan memandangi sepadang hijau yang mulai menguning. Matahari mengomporinya kian menyala. Layu, lalu mati dan bertebar dedaunan kering bersama angin. Perlahan, bingkai air mataku menetes membasahi pipi.
Ibu adalah pelangi adalah cahaya adalah matahari. Ibuku, sosok perempuan matahari. Yang menjadikanku segumpal darah, melahirkan nyawa untukku, hingga aku tumbuh kanak dan beranjak remaja. Adalah kehidupanku. (*) 

---------------------------------------------------
NB: Cerpen "Antara Lukisan dan Perempuan Matahari" Menjadi Juara 3 Lomba Cerpen STANIA Fair Tingkat Nasional 2011

No comments:

Post a Comment

Radio & tv online

SKIP 94.3 FM