Social Icons

Pages

Wednesday, October 17, 2012

Lonceng Tua

Ikan terbang di angkasa.
Burung berenang ke dasar sungai.
Apa kata dunia?
Aku seperti kupu-kupu di atas sepeda keranjangku ini. Kupu-kupu dengan sayap yang sempurna. Hanya aku seorang yang ada di antara bunga-bunga yang bermekaran. Ya, aku adalah seorang penjual bunga. Seperti namaku, Flora.
Kukayuh sepedaku mengelilingi jalanan kota. Kelihatannya akan turun hujan. Langit mendung, awan hitam mulai menutupi sang mentari. Padahal ini masih pagi. Jam di tanganku menunjukkan pukul 07.10. Adakah ini petanda bahwa alam sudah tua? Global warming terus saja merajalela. Seperti raja yang murka pada rakyatnya. Dongeng tapi bukan sembarang dongeng.
Ini adalah musim kemarau. Tapi kenapa hujan selalu turun membasahi bumi ini? Di saat musim penghujan malah tak datang hujan. Aku jadi bingung.
Apa yang terjadi dengan dunia ini? Dunia seperti marah. Hanya sebuah kata ”Allahu Akbar...” yang di ucapkan pada saat musibah melanda.
Gempa berguncang, menyapu isi bumi.
Tsunami bergulung, menenggelamkan daratan.
Longsor berjatuhan, menimpa seluruh lahan.
Waktu bisa mengubah dunia. Tapi waktu tak bisa mengubah kehendak-Nya.
Sinyal masuk stasiun telah berbunyi. Kereta akan lewat. Aku pun berhenti di depan palang yang mendatar ke seberang. Kuamati samping kanan-kiriku. Sejenak aku mendengar suara lonceng di antara sinyal-sinyal yang masuk. Kuperhatikan sekelilingku. Oh, ternyata itulah sumber suaranya. Kupandang seorang anak kecil di sudut jalan yang sedang membunyikan sebuah lonceng. Mm, terdengar nyaring. Aku tak tahu apa yang sedang di lakukan anak kecil itu di sana?
Kuarahkan sepedaku ke pinggir jalan dan kutitipkan di depan lesehan seafood. Lalu aku masuk melewati palang. Dari bawah pohon mangga di tepi rel kereta, aku melangkah pelan mendekati anak itu.
Kini ku berada di sampingnya. Membentuk wajah pandang yang berseri-seri.
”Adik kecil namanya siapa?” aku berlutut di samping kirinya. Ia hanya diam sambil menatapku. Mungkin ia takut dengan orang asing. Ah, biarlah. Lalu aku memandangnya. Kurasa ia keturunan Arab. Wajahnya seperti orang Arab, dengan khas hidung yang mancung. Ia terus membunyikan loncengnya tiada henti.
”Adik kecil ngapain disini. Di sini bahaya!”
”Kassaro qudhbaanu, saqotho qithorun...” ia mengeluarkan sepatah kalimat yang tak kumengerti.
”Apa maksudnya?”
Tut. Tut. Tut. Terdengar suara kereta dari arah kiriku. Kereta pun melintas di depanku. Dan menyibak rambutku yang terurai panjang.
Lalu ia pergi meninggalkanku. ”Kassaro qudhbaanu, saqotho qithorun...” ucapnya lagi.

***
Gerimis sesekali menyapa bumi. Sang mentari tenggelam di lautan awan. Hanya tampak segaris cahaya yang mengerjap tak beraturan di angkasa. Kubuka sebuah dictionary yang berjudul ”KAMUS ARAB”. Kemudian kucari arti dari setiap kata yang ucapkan anak kecil tadi.
Kassaro artinya rusak
Qudhbaanu artinya ...
”Nggak ada. Apa ya artinya?” pikirku. Aku ingat kalau tetangga sebelahku adalah keturunan Arab. “Pasti Pak Haji tahu!”
Lalu kubuka jendela kamarku. Dingin mulai merasuk. Bukan main. Wah, kebetulan Pak Haji di luar sedang menata buah. Pak haji adalah seorang penjual buah.
”Pak Haji,” panggilku. Kamarku terletak di lantai dua. Jadi aku harus berteriak ketika bercakap dengannya.
Ia menolehku. ”Hey...” dahinya berkerut.
”Kassaro qudhbaanu, saqotho qithorun. Artinya apa, Pak Haji?”
”Mm, kassaro qudhbaanu, saqotho qithorun artinya rel rusak, kereta jatuh. Ada apa anti tanya seperti itu?”
”Nggak ada apa-apa, Pak Haji. Sukron.”
”Na’am.”
Seperti sebuah isyarat atau hanya imajinasi anak kecil? Kuingin memahami.
Esok harinya, kulihat sebuah topik berita di televisi: ”Kecelakaan KA akibat rel yang putus”. Astaga, aku teringat pada ucapan anak kecil kemarin. Ini benarlah nyata, bukan tampak seperti fatamorgana.
***
Burung gereja terbang menyongsong pagi. Aku bisa merasakan jejak gerimis yang masih membekas. Membekas di antara embun-embun pagi. Dan mengalir di atas dedaunan hijau.
Kini ku ajak Uno berjalan menuju ke taman kota. Uno adalah kucing anggora kesayanganku. Dengar-dengar sih di taman kota ada atraksi seru seperti jaranan, sulap, tarian api, dll. Aku ingin melihat. Ya, sekedar menghibur diri.
Terdengar di telingaku suara keramaian dari arah taman kota. Kutajamkan pendengaranku. Ya, lumayan ramai juga. Yang datang sekitar puluhan orang, tapi suaranya seperti ratusan orang. Lalu kulangkahkan kakiku masuk area taman.
Api.
Tarian api.
Aku ingin melihat itu. Hebat. Seorang laki-laki menari di antara bara api yang menyala. Plok. Plok. Plok. Sebuah applause keras dari para penonton. Aku merasa terhibur.
”Uno...!!!” aku menoleh ke bawah, kanan-kiriku. Uno tidak ada. Aku mencarinya. Dan ketika aku menoleh ke belakang. ”Uno...!!!” kucing kecilku sedang bersama anak kecil. Siapa dia? Ia mengelus-elus Uno.
Lalu aku menghampirinya. Dan anak itu mendongak ke arahku. Oh, ternyata anak ini lagi. Anak kecil yang kutemui di tepi rel kereta kemarin. Aku pun duduk di hadapannya dan ikut mengelus Uno.
”Ini kucing kakak?”
”Ya.” Anak ini selalu membawa lonceng yang ia kalungkan pada lehernya. Lalu aku memegang loncengnya. Hanya melihat-lihat. ”Loncengnya bagus. Beli dimana?”
”Di kasih Pak Tua yang kutolong sebulan yang lalu di jalan. Ini adalah lonceng tua. Lonceng inilah yang selalu menemaniku. Dan lonceng ini selalu memberiku isyarat lewat pikiranku. Aku tak punya siapa-siapa. Aku hidup seorang diri di jalanan kota. Aku tak punya Ayah dan Ibu.”
Kasihan juga anak ini. Ia masih kecil. Kalau di kira-kira, umurnya sekitar 8 tahunan.
”Adik kecil, nama kamu siapa?”
”Ardhan,” ia memandangku. ”Kasihan kucing kecil ini. Jaga kucing ini baik-baik, Kak. Jangan sampai lepas dari tangan kakak. Atau kakak akan menyesal,” sambil mengelus-elus Uno. Lalu ia pergi.
Aku tak mengerti dengan apa yang ia katakan. Aku merasakan seperti ketakutan yang samar-samar. Ucapannya penuh dengan teka-teki. Mungkinkah ia adalah anak indigo?
Kulihat jam besar di taman kota. Tepat ada di hadapanku. Jam besar seperti Big Ben, tapi bukan Big Ben. Waktu menunjukkan pukul 09.59. Kudengar detak jam yang begitu menikam. Dan menit terakhir tlah berhenti mendadak di angka dua belas. Tepat jam 10.00.
Aaarghhhhh...!!! Uno mencakar tanganku. Bekas cakarannya terasa perih. Dan kini Uno telah lepas dalam pelukanku. ”Uno...!!!” aku mengejarnya. Kulihat Uno berlari ke jalan. Kukejar terus. Dan terus.
Tiba-tiba dari arah kanan jalan ada truk besar yang melintas dengan kecepatan tinggi.
Brakkk. Truk itu menabrak Uno. Sungguh. Apa yang kutakutkan ternyata benar-benar terjadi. Ini bukanlah mimpi. Apa yang ada di depan mataku benarlah nyata. ”UNOOO...!!!” teriakku. Sepercik air mata tlah menetes di atas pipiku.
UNO. Kucing kecilku telah mati.
***
Kutatap rinai hujan di depan jendela kamarku, sambil kuteguk secangkir cappuccino hangat. Mungkin hangatnya cappuccino bisa menghangatkan pikiranku. Diriku yang sekarang seperti sekuntum bunga mawar putih yang mahkotanya telah hilang di hempas oleh angin. Hanya ada jejak luka di dalam hatiku yang sulit tuk kuhapus. Uno hanyalah kenangan. Tak ada lagi jeritan Uno. Tak ada lagi suara khas Uno. MEONG.
Klinting..klin..tng.. Klinting..klin..tng..!!!
Kudengar bunyi lonceng yang bergema di antara reruntuhan hujan. Sepertinya itu lonceng tua milik Ardhan kecil. Ya atau bukan?
Kemudian kubuka jendela kamarku lebar-lebar. Aku mendongakkan kepalaku ke bawah. Ya, benar. Itu memang Ardhan. Ia berada di depan rumahku. Ia berdiri di tengah hujan yang mulai reda.
Aku pun beranjak dari kamarku dan turun ke bawah. Menuruni tangga secepat kereta express. Lalu kubuka pintu rumahku.
”Assalamualaikum...” ia tersenyum kepadaku.
”Walaikumsalam...” aku membalasnya dengan senyuman manis.
Ia berjalan ke arahku. Sepertinya ia sedang membawa sesuatu. Entah apa itu? Aku tak tahu.
”Ini untuk kakak yang sedang bersedih. Mungkin dengan makan kue cokelat ini bisa menghapus kesedihan kakak,” ia memberiku kue cokelat.
Aku pun menerima pemberiannya. ”Terima kasih, Ardhan. Adik kecilku.”
Ia tersenyum, ”Biarkan kucing kecil kakak bersenang-senang di surga.”
”Ya, Ardhan. Aku kagum padamu. Kamu memiliki kelebihan bisa melihat masa depan yang belum tentu semua orang memilikinya,” kuelus kepalanya dengan lembut dan sesekali kuberikan senyumanku yang paling manis. (*)
------------------------------------------
NB: Cerpen "Lonceng Tua" Menjadi Pemenang Terbaik Sayembara Cerpen Se-Kabupaten Jombang 2010

No comments:

Post a Comment

Radio & tv online

SKIP 94.3 FM