Kubisikkan anganku dalam hamparan senandung asma Allah. Sesekali kuredam diriku ini dari noda nista yang menghampiriku di masa lalu. Karena aku tak mau larut dalam nafsu yang kian memburu. Seperti kisah sang pendosa, tapi itu bukanlah aku. Sungguh, apa yang tersirat dari dalam diriku kan kubenah menjadi seunggah goresan putih di atas noda hitam. Bismillahirahmanirrahim...
I
Ia mendengar suara khotbah pada area mushola kecil, tepatnya di sebuah desa terpencil yang berada di pelosok kota. Ya, kota ini memang mendapat julukan “kota santri”. Begitulah kiranya yang terlukis dalam googling. Kau tahu, mengapa? Tentu, saking banyaknya pondok pesantren baik di pelosok maupun di wilayah kota.
Khotbah itu terdengar jelas di daun telinganya. Yang berkisah tentang kelahiran Nabi Muhammad saw di muka bumi ini. Beliau adalah cahaya di dalam dada yang memberikan penerangan yang tak pernah padam bagi umat manusia. Nabi Muhammad saw lahir pada tahun gajah. Tepatnya, 12 Rabi’ul Awwal—yakni tahun dimana Abrahah al-Asyram berusaha menyerang Makkah dan menghancurkan Ka’bah dengan pasukan gajahnya.
Kemudian ia mencoba mengingat masa lalu, mengorek kalimat yang masih membekas dalam pikirannya: “Aku ingin bertemu Rasulullah saw”.
“Kelak nanti kau pasti bisa bertemu dengan beliau. Asal, janganlah kau tinggalkan ibadah! Ucaplah shalawat Nabi, selalu! Jika kau cinta pada beliau, pasti hidupmu kan bahagia,” tutur ibunda.
“Lantas kenapa ada orang yang begitu cinta dan rindu pada Rasulullah? Padahal orang itu sekalipun tak pernah bertemu dengan beliau.”
“Di dalam hadits pernah di jelaskan bahwa perintah Rasulullah adalah perintah Allah juga datangnya. Beliau rasul kita, apa yang beliau sampaikan wajib kita ikuti. Walaupun kita belum pernah bertemu beliau, kita bisa merasakan apa yang beliau sampaikan, akhlak beliau, dan sebagainya. Dari situlah timbul kecintaan kita.”
Itulah cakap terakhir yang terucap dari lisan di atas pangkuan ibunda tercintanya sebelum meninggal―sejak 4 bulan yang lalu. Ya, karena sakit yang menggerogoti tubuh bundanya. Yakni kanker, stadium akhir. Ia sedih kala melihat bundanya dulu kesakitan yang amat sangat. Berurai air mata.
Tiada kelakuan lain yang ia lakukan sepeninggal ibundanya. Yakni, berteguk pada segelas bir berlabel bintang. Kini ia bersandar pada dinding mushola dalam keadaan teler. Tiada lagi kasih sayang, tiada lagi perhatian. Eum, layaknya orang terlantar. Sepi yang ia rasa. Ia hanyalah seorang anak yatim piatu yang tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil yang tak elit bersama saudara kembarnya. Adalah seorang kakak yang selalu bertasbih pada Allah swt.
Akan tetapi, ia justru memiliki watak yang 100% terbalik dari watak kakaknya. Bisa di bilang, ia adalah seorang preman kampung yang selalu bermabuk dengan bergelas-gelas bir hingga pikirannya mampu terbawa ke dalam halusinasi yang begitu nikmatnya. Tak urung pula berjudi di pos ronda selalu ia hampiri. Sekedar mencari kepuasan kala tengah malam menjelang.
“Oh—... Inikah taman surga. Dimana Rasulullah? Aku ingin bertemu dengannya. Panggilkan beliau!” teriaknya di depan mushola sambil berjalan lenggak-lenggok. Sepertinya ia sudah sangat mabuk kepayang.
Suaranya terdengar sampai di dalam mushola. Seketika itu, seorang pemuda keluar dari mushola dan di ikuti rombongan jamaah sholat subuh lain yang menengok di depan pintu mushola.
“Astaghfirullah hal adzim...” ucap pemuda itu.
“Taukah kalian semua bahwa bundaku sekarang sedang tidur di atas kasur yang sangat indah di taman surga. Aku akan di ajaknya ke surga. Kalian pasti iri.”
Rombongan jamaah lain saling berbisik dan mendelik gusar. Bahkan para tetangga sekitar rumah kontrakannya selalu bergosip rame-rame tentang kelakuan buruknya yang memang berbeda dengan sifat Adzar yang alim (saudara kembarnya). Tapi Adzar tak pernah bergidik memikirkan apa kata tetangga tentang adiknya itu.
“Bang Idzar mabuk lagi?” tanya seorang muslimah yang berparas cantik. Ia adalah kekasih dari Adzar.
“Aku tidak mabuk, Husnah. Aku sedang menanti pertemuanku dengan Rasulullah. Dan aku juga sedang menanti kedatangan bundaku. Tahukah kau?”
“Istighfar, Dzar. Bundamu tidak ada di sini. Bundamu pasti sangat sedih melihat kau seperti ini. Lebih baik kau pulang sekarang!” bujuk pemuda itu.
“Betul, Bang. Abang pulang saja. Jangan bikin Bang Adzar khawatir lagi!”
“Hah—Adzar lagi, Adzar lagi. Kenapa dulu kau menolak cintaku? Dan kenapa kau lebih memilih Adzar daripada aku. Padahal kami berwajah sama. Apa bedanya, Husnah?”
Husnah hanya diam dengan bertunduk kepala. Lantas Idzar kemudian melempar botol bir yang di bawanya tepat di depan tulisan: SUCI. Hingga akhirnya membentuk pecahan-pecahan botol yang berserak layaknya butiran emas yang baru di tambang di sungai. Lalu, ia pergi tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.
II
Aku bersenandung dalam dekapan lisan yang berucap dua kalimat syahadat: Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa−asyhadu anna muhammadar rasulullah. Dari iringan itu, kudengar ada suara seperti gedoran keras pada pintu depan.
Suara itu semakin lama semakin keras dengan di iringi teriakan yang berdesah lemah. “Cepat buka pintunya!”
Kala subuh menjelang, tak urung pula ada orang yang hendak bertamu. Siapa, pikirku. Jam dinding berdetak tajam seusai melewati pergantian menit terakhir. Bertunjuk jarum panjang lepas di angka 12. Sementara, jarum pendek terbujur kaku di angka 4.
Di bawah lampu remang, aku berjalan menuju pintu dan membukanya. Sungguh, betapa terkejutnya aku melihat Idzar dalam keadaan mabuk. Sudah 2 kali ini dia pulang menjelang subuh dan dalam keadaan mabuk. Padahal, semasa hidup bunda, Idzar tak pernah seperti ini. Sifatnya berubah total sejak dia bergaul dengan anak-anak berandalan yang biasa nongkrong di jembatan yang menghubungkan kampung ini dengan kampung sebelah, tak jauh dari rumah kontrakan ini.
Ya, memang. Idzar lebih di sayang oleh Bunda. Apapun yang Idzar minta pastilah di berikan. Asal Idzar tidak merengek dengan ulahnya itu. Tapi, bukan berarti Idzar anak pecundang atau apa. Dan dalam tanda kutip “anak mama”. Karena aku lebih mandiri dan dewasa ketimbang Idzar. Meski begitu, aku tak pernah merasa sedikit pun di duakan oleh Bunda. Aku bisa mengerti keadaan.
Kemudian aku segera membopong Idzar masuk ke kamar dan mendorong badannya hingga terjatuh di atas kasur.
“Kenapa kau mabuk-mabukan lagi? Minum minuman keras itu di haramkan oleh agama. Apa kau tidak malu dengan ucapan para tetangga yang selalu mengubris tentang ulahmu itu?”
“Diam bodoh. Jangan coba-coba menceramahiku! Atau akan kuhajar kau.”
Ah, biarlah. Lagipula Idzar sudah tak sadarkan diri. Segeralah aku menata letak sajadahku ke arah kiblat, menghadap Sang Kuasa. Aku tengah melaksanakan sholat subuh dengan berucap lantunan ayat Allah dalam hati yang khusyuk. Memuji nama-Nya yang begitu indah.
III
Ia menatap desahan yang berucap dari lidah Adzar. Sesekali, ia meneteskan air mata. Berlinang membasahi pipinya. Rupanya, ia begitu tersentuh dengan kekhusyukan Adzar yang tampak tenang dan damai. Tak seperti dia, yang selalu kalut dalam keheningan nista. Ya, sungguh beruntung, Adzar bisa mendapatkan kekasih yang cantik dan solehah. Yakni Husnah Arsyita.
Air matanya mengalir deras membasahi bantal. Ia makin tersedu-sedu hingga Adzar bisa mendengar isak tangisnya itu. “Jika aku mati, apakah Allah akan mempertemukan aku dengan Rasulullah?” pikirnya.
“Tentu, Idzar. Kalau kau mau bertobat. Allah pasti mengabulkan keinginanmu. Insya Allah...” sahut Adzar ketika pertanyaan Idzar terdengar di telinga.
Ia tersenyum di antara isak tangis. Hingga akhirnya terlelap tidur.
“Kau tahu, kenapa aku ingin bertemu Rasulullah?” tanyanya kala ia berbaring di atas pangkuan kekasihnya. Namanya, Dewinta. Meski tak secantik Husnah. Bahkan tak sesolehah Husnah.
Siang ini sungguh terik menyelimuti kota santri. Matahari berada tepat di atas kepala. Tanpa ada sepeser awan pelindung sedikit pun. Kini, teduhnya berada di bawah pohon yang menjulang tinggi di atas perbukitan. Angin bertiup semilir membawa suatu lambaian masa lalu.
Kenapa pula musim kian tak beraturan seperti ini? Padahal, hari ini tak seharusnya musim kemarau. Tapi, musim penghujan. Lantas kenapa terik matahari menyinari bumi ini. Sungguh, alam yang amat membingungkan. Atau mungkinkah ini petanda bahwa kiamat sudah dekat. Entahlah!
“Aku tak tahu. Apa alasannya?” jawab Dewinta sambil mengusap dahi Idzar.
“Dulu bundaku pernah berkata, jika aku ingin tetap bersama bunda kelak nanti di taman surga, aku harus patuh pada perintah bunda dan juga selalu beribadah pada Allah. Jika aku melakukan itu semua, bunda akan mengajakku bertemu Rasulullah.”
“Beribadah? Bukannya...”
“Ya. Aku tahu,” potongnya. “Aku memang sudah tak pernah lagi sholat. Aku selalu mabuk-mabukan dan berbuat maksiat lainnya. Ntah, setan apa yang merasuk dalam jiwaku ini.”
“Kenapa kau bisa seingin itu bertemu Rasulullah?”
“Entahlah... Dulu bunda sering menceritakan aku dan juga Adzar kala tidur tentang kisah Rasulullah pada waktu beliau lahir hingga akhirnya wafat. Sejak saat itulah aku kagum pada beliau. Tentang penderitaannya, perjuangannya, dan masih banyak lagi. Mm, layaknya seseorang yang kagum pada tokoh idolanya,” ia diam sejenak membayangkan tentang kisah Rasulullah. “Ada kisah yang mengesankan dari beliau. Tentang penderitaan Rasulullah yang di caci maki, di lempari batu hingga luka-luka oleh penduduk kota Tha’if pada saat beliau menyampaikan Risalah.”
“Lalu, lebih cinta mana kau? Aku atau Rasulullah?”
Ia bangkit dari pangkuan Dewinta. Lalu, memandang jauh ke sudut desa di atas bukit. Sudut desa yang begitu sejuk dan indah. Meski langit terik dan cerah tak berawan. “Ntahlah−...”
IV
Kuberjalan di sepanjang jalanan kota yang ramai akan sang pelancong. Senja ini benar-benar menampakkan semburat keremangan yang indah. Di atas jembatan layang kutelusuri area yang melintang ke seberang jalan. Sementara, kedua tanganku sedang memegang sebuah novel islami yang tengah kubaca seraya berjalan.
Seketika, aku di kejutkan oleh kerumunan orang yang sedang berlari ke arahku seraya meneriakkan kata: “copet”. Kutajamkan penglihatanku jauh memandang di ujung sana. Tampaknya, aku mengenal pencopet itu. Siapa ya, pikirku. Selangkah demi selangkah semakin mendekat di hadapanku.
“Idzar...”
Ya, itu memang adikku. Tapi ada apa? Pengejaran itu berlalu melewatiku yang sedang berdiri terpaku melihat adikku di hadang oleh kerumunan masa. Satu orang yang ikut berlari menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Mungkin orang itu bingung. Karena melihat sosok wajahku yang mirip dengan orang yang sedang ia kejar saat ini.
Kemudian aku ikut berlari mengejar Idzar. Dengan harapan aku bisa menyelamatkannya dari hadangan masa. Namun, aku melihat ada kerumunan masa lagi dari arah yang berlawanan. Sehingga, kini posisi Idzar dalam keadaan terhimpit dan tak mampu berlari kemana-mana lagi. Ia tak mampu berkutik.
Di depan mataku, kulihat ia tengah memanjat tepi jembatan layang. “Idzar... Jangan!” teriakku sekeras mungkin sampai ujung tenggorokanku. Tapi, terlambat sudah. Aku tak berhasil mencegahnya, menolongnya. Hanya rasa gelisah yang kurasa. Ia melompat dari atas ketinggian jembatan layang. Sementara, di bawah sana orang-orang hanya terpana. Tiada satupun yang menolongnya. Ya, hanya sebagai suatu pertontonan. Inikah? Orang kota yang begitu kejam.
Dan kini aku melihat adikku terbujur kaku di jalan raya di bawah jembatan. Tubuhnya tertumpah warna darah yang segar. Lantas, akupun segera berlari menuruni jembatan layang dan menghampiri adikku yang terbaring lemah. Kaku.
“Idzar, bertahanlah!” isakku dalam tangis yang tak mampu kubendung.
“Aku sudah tak kuat lagi. Rasanya seperti ingin tidur. Aku ngantuk, Dzar.” ucapnya seraya meneteskan air mata.
“Kumohon jangan kau pejamkan matamu. Ayo, aku akan membawamu ke rumah sakit. Bertahanlah!”
Ia menahan tanganku dan menggelengkan kepalanya pelan. “Aku ingin pergi ke taman surga. Menyusul bunda. Di sana aku bisa bertemu Rasulullah.”
“Y.. ya..” ucapku gagap. “Ya, Idzar.” Air mataku jatuh di atas pipinya yang berlumur darah.
“Idzar...” jerit Dewinta yang tiba-tiba datang. “Idzar tidak mencopet. Bukan dia pelakunya. Dia hanya korban fitnah dari pencopet yang asli. Kalian kejam! Beraninya main keroyokan,” teriaknya pada orang-orang yang ada di sekelilingnya dengan berurai air mata.
“Apakah Allah akan mengampuni dosa-dosaku? Dan berkenankah Allah mempertemukan aku dengan Rasulullah?”
“Insya Allah, Dzar.” Aku mengusap darah yang berlumur di dahinya.
“Rinduku padamu, Ya Rasulullah...!” ia tersenyum dalam uraian luka yang melekat pada tubuhnya, sakit sekali. Pedih hingga meremukkan batas tulang.
Lalu, kutuntunnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Hingga akhirnya, Idzar menghembuskan napas terakhir. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un...
***
Dengan pakaian serba hitam aku berlutut di samping batu nisan yang terukir nama: Idzar Fathurrahim. Aku mengelus nisan adikku yang kini terbaring di dalam tanah. Di tangan kiri Dewinta terdapat keranjang bunga. Satu taburan bunga ia taburkan di atas makam.
Hari ini kami tlah berbeda alam. Batas antara alam kehidupan dan alam kematian. Mungkinkah Idzar sedang kesepian di liang lahat—dalam suatu kegelapan remang yang nyata. Padahal kami lahir bersama, dalam rahim yang sama. Sejak kecil selalu bersama pula, seolah-olah tiada terpisahkan oleh apapun dan kapanpun. Sekali kami berpisah pasti ujung-ujungnya kami akan bertemu lagi. Entah siapa yang mengembalikan kebersamaan itu. Tapi kini, kematian tlah memisahkan kami. Ia yang mendahului, adikku. Aku menyayangimu, selalu.
Maafkan aku bunda. Aku tak mampu menjaga Idzar, ucapku dalam hati.
“Sebelum Idzar meninggal, aku sempat mengantarkannya ke Masjid. Ia bilang, ia ingin sholat, ia ingin bertobat pada Allah. Tapi ketika keluar dari Masjid ada seorang lelaki berlari ke arahnya dengan membawa sebuah tas, lalu di berikan pada Idzar. Ketika Idzar menerimanya, ada gerombolan orang yang berteriak: copet. Saking gugupnya, Idzar malah berlari tanpa menjelaskan terlebih dahulu bahwa bukan ia pencopetnya,” ucap Dewinta. “...keterlaluan. Begitu kejam.”
Berarti Idzar sudah bertobat sebelum akhir menutup mata, menghembuskan nafas terakhir. Alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin. Aku senang. Suatu saat nanti kita pasti akan bertemu kembali di alam sana.
Semoga tobatmu di terima Allah. Dan semoga inginmu bertemu Rasulullah bisa tercapai. Beliau kan membimbingmu menuju taman surga. Yaa Allah... kabulkanlah, kehendakilah! Amin, ucapku dalam hati seraya kupejamkan mata.
Kini tiada lagi teriakan Idzar yang terdengar di telingaku, yang terdengar hanyalah kicauan burung yang bernyanyi merdu di atas makam. Seperti hujan yang menggaris senja. Dan seperti perpisahan yang menggaris kebersamaan. Di pemakaman inilah aku berselimut duka.
“Bang, yuk kita pulang!” seseorang sedang memegang bahuku, lembut. Ialah Husnah, kekasihku yang amat kucinta. Dan setelah ini aku akan melamarnya. Tentu, pada akhirnya akan menikah. Bersama hingga hari tua, lebih tepat hingga ajal menjemput di antara kami.
Aku menatap Husnah. Kemudian lekas berdiri meninggalkan makam, berjalan di bawah pohon kamboja putih. (*)
-------------------------------------------
NB: Cerpen "Pelabuhan Taman Surga" Menjadi Nominator Lomba Cerpen Bermakna Tingkat Nasional 2011
No comments:
Post a Comment