Social Icons

Pages

Wednesday, October 17, 2012

Perempuan Penjual Kerudung

Ia, seorang perempuan yang tegar. Hebat. Yakni perempuan penjual kerudung. Hidupnya hanya bersama seorang anak, tiada suami. Ia tak hanya menjadi seorang ibu, namun juga seorang ayah. Ya, karena ia yang menjadi tulang punggung keluarga, sekedar mencari berlembar rupiah—hanya tuk sesuap nasi, bahkan sekolah anaknya yang masih berseragam merah putih.
Di sudut pasar itu, berkerumun banyak orang yang menanti di layani lebih dulu. Saking jujur dan ramahnya dalam berjualan—hingga membuat pelanggan segan pada dirinya. Setiap ada pelanggan, ia selalu bertebar sebuah senyum semanis legit. Ibaratnya, seperti sekuntum bunga mawar yang bermekaran. Nun indah dan elok jikalau di pandang dengan mata kasat. Oleh sebab itu, dagangannya paling laris di antara yang lain. Akan tetapi, itu justru menjadi beban penjual kerudung yang lain. Sebut saja, Jeng Elmi.
“Dagangannya makin laris aja, Jeng!”
Alhamdulillah... Kalo rezeki juga nggak bakalan kemana. Sudah ada yang mengatur oleh Sang Kuasa,” ucapnya pada pelanggan tetapnya seraya tersenyum.
“Hah! Sombong bener,” gumam Jeng Elmi seraya memasang wajah sinis.
Kala menjelang Ashar, ia beranjak ke mushala. Sebuah mushala kecil yang bersebelahan dengan pasar. Ia lebih memilih meninggalkan dagangannya ketimbang sembahyang. Sembahyang ialah kewajiban duniawi, bukanlah berdagang. Kau tahu itu, pastinya. Tiada rasa takut jikalau dagangannya di curi. Ya, ada kawan seperdagangannya yang selalu menjaga serta. Seandainya ini adalah negeri Arab, kalau mencuri pastinya tangan bakalan di potong. Tapi bukan, ini adalah negeri Indonesia, kalau pun mencuri pastinya akan di gebuk oleh massa.
Assalamualaikum...” ucapnya seraya melangkahkan kaki kanan pada lantai mushala.
Ia menoleh ke samping kanan kiri seperti seekor kadal mencari mangsa. Lantas, tiada seorang pun dalam mushala. Sepi. Tak pun seruan azan, panggilan tuk sembahyang. Padahal ini sudah jam tiga lebih. Tak biasanya, pikirnya. Mungkin para lelaki yang biasa azan sedang sibuk dengan urusan mereka.
Kemudian datang seorang lelaki separuh baya yang berjalan di belakangnya. Ia pun menoleh ke belakang seraya tersenyum pada lelaki itu.
“Pak Iman kemana? Kok tumben tak terdengar azan. Biasanya kan Pak Iman tak pernah telat mengumandangkan azan,” tanyaku.
“Iya, Pak Iman takkan bisa lagi mengumandangkan azan di mushala ini.”
“Kenapa?”
“Berita duka. Pak Iman tlah pulang ke Rahmatullah.”
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un…” ia terkejut. “Padahal tadi pagi Pak Iman sehat-sehat saja. Bahkan kami sempat saling sapa.”
Pak Iman adalah seorang yang baik. Dalam kehidupannya, beliau selalu berdzikir pada-Nya. Sungguh khusyuk. Ya, belum kuberitahu padamu. Bahwa adik Pak Iman adalah suaminya, perempuan penjual kerudung. Namun, mereka memiliki sifat yang sangat berbeda. Suami perempuan penjual kerudung itu, suka berfoya-foya dalam dunia maksiat. Ia hanya bisa menangis kala suaminya bertindak kasar padanya, memukul. Toh, apa yang bisa ia perbuat. Lagipula, sang istri haruslah menaati apa kata suami. Begitulah yang diterangkan menurut ajaran Islam. Bahkan saat itu suaminya meninggal dalam keadaan mabuk berat—kala menjelang subuh.
Usai sembahyang, ia mengambil mikrofon, di letakkan di depan bibirnya. Napasnya terasa berdesah pelan. Ia menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya lewat celah mulut. Ya, ia sangatlah menyukai membaca ayat-ayat al-Qur’an, meskin hanya beberapa ayat pun tak apa. Asal dalam sehari, ia sempatkan mengaji. Hobi, katanya.
Subhanallah... indah nian suara perempuan yang sedang mengaji ini,” seru salah seorang pembeli di pasar yang kala itu tengah berbelanja.
“Ya, suaranya memang sangat merdu. Ia memang seperti itu, rajin mengaji di mushala. Itu adalah suara seorang perempuan penjual kerudung di ujung sana,” tunjuk sang penjual sayur-mayur.
 ***
Esok pagi, ia hendak mengantar anaknya beranjak sekolah. Dengan sepeda tuanya, ia mengayuh hingga berlumur raupan keringat. Tiada lelah yang ia rasakan. Asal, anak satu-satunya itu bisa terus sekolah hingga menginjak ke pendidikan yang lebih tinggi.
Ia tak ingin anaknya berpendidikan rendah. Tak seperti dirinya, yang hanya lulusan SD. Seandainya bapaknya tak melarang, ia pasti bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Padahal ibundanya tak melarang, malah ibundanya ingin ia bisa sekolah di kawasan pondok pesantren. Mendalami ilmu agama. Syukur-syukur bisa jadi seorang ustadzah. Atau malah seorang Nyai yang selalu berceramah agama di hadapan umum.
Ironi sekali, kawan. Ya, bapaknya selalu berucap bahwa: anak perempuan itu tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Toh, pada masanya ia akan menjadi seorang istri yang pekerjaan ngurusi dapur dan suami. Sungguh, pemikiran yang pendek. Toh, perempuan dan laki-laki sama saja. Yakni sama-sama memiliki hak untuk mengejar ilmu setinggi mungkin, bersekolah. Hingga akhirnya, ia di jodohkan dengan seorang lelaki yang kini menjadi suaminya. Ralat, almarhum suaminya. Ia hanya menurut apa keinginan bapaknya. Karena ia tak mau menjadi sang pendurhaka. Meski sesungguhnya, ia tak pernah mencintai suaminya itu.
Pagi ini amatlah indah. Cerah tiada berawan. Tiada pula sang surya yang menyilaukan. Hanya nampak sisa kabut yang mengepulkan uapnya, tetesan embun yang bernaung di atas dedaunan, dan kicauan camar yang menyongsong datangnya pagi.
“Sekolah yang rajin, Nak. Janganlah malas mencari ilmu! Dan jangan membuat ibumu ini kecewa padamu.”
“Pasti, ibu. Karena aku ingin jadi seorang pilot. Aku ingin membawa ibu naik haji ke tanah suci Makkah. Kata ibu guru, orang yang tak punya cita-cita adalah orang yang tak punya motivasi belajar.”
Seketika ia melihat seorang pengemis yang tengah menangis seraya memegang perutnya di pinggir jalan. Ia pun berhenti mengayuh sepeda. Di hampiri pengemis itu seraya menggandeng tangan anaknya.
“Ada apa, Bu? Kok ibu menangis.”
“Lapar. Sudah tiga hari saya belum makan,” ucap pengemis itu tersedu-sedu dalam isak tangis yang membasahi pipi.
Kemudian ia menoleh pada anaknya. Ia meminta agar bekal makan anaknya di berikan pada pengemis itu, orang yang lebih membutuhkan ketimbang dirinya. Anaknya turut mengiyakan. Ia bisa mengerti. Karena ia selalu mengajarkan anaknya tuk saling berbagi pada sesama manusia. Terbukti, anaknya kini tlah menjadi seorang anak yang sholeh.
“Nanti ibu antar bekal makan siang lagi ke sekolahmu, Nak.”
Di sisi lain, tiba-tiba ia melihat seorang anak yang seusia dengan anaknya tengah menyeberang jalan. Seorang anak lelaki yang pula berseragam merah putih. Sungguh, betapa terkejut ia melihat ada sebuah truk dari arah kanan jalan—tengah melaju dengan kecepatan tinggi. Ia bingung. Semakin panik. Tak tahu lagi mesti berbuat apa. Lantas, ia segera berlari ke tengah jalan tuk menyelamatkan nyawa seorang anak yang tak pernah di kenalnya.
Braaakkkkk. Truk itu menabrak tubuhnya hingga terpelanting jauh ke tepi. Tapi nyawa anak lelaki itu selamat. Karena dirinya tlah mendorong tubuh anak itu tepi. Dan dalam keadaan lain, malah dirinya yang tak bisa menyelamatkan diri, tak mampu menghindar dari maut.
“Ibuuuuu...” jerit anaknya dengan histeris.
Luka bersimpuh darah tlah melekat pada dirinya. Semua orang terpana, berlarian pada sosok perempuan penjual kerudung yang tengah tergeletak kaku. Kini, sebuah nyawa orang lain terganti dengan nyawanya sendiri.
***
Kala menjelang senja, azan maghrib kan segera berkumandang, bedug bertalu. Tiada lagi sang surya yang menyengat kulit. Sang surya tlah menenggelamkan diri pada ufuk barat. Dan kan kau temui kembali kala sang surya datang dari ufuk timur, tepatnya esok pagi. Kini, yang ada tinggal siluet remang yang hinggap pada pelataran langit. Meninggalkan bau kenangan pahit yang amat membekas.
Di sebuah mushala itu, terdengar suara tangis yang mengerang keras. Alangkah terkejutnya warga yang berada di area mushala. Tangis siapa ini, begitulah yang sekian terucap dari mulut warga. Mereka berduel mempeributkan suara tangis itu.
“Kemana pula orang tua anak itu? Masak di biarkan nangis terus, nggak berhenti-henti. Padahal sudah sejak sore tadi.”
“Sepertinya ini terdengar dari arah mushala!”
Salah seorang warga menajamkan pendengarannya. “Ya, sepertinya. Bagaimana kalau kita pergi ke mushala saja. Sekedar untuk memastikan. Jangan-jangan terjadi apa-apa! Toh, kita kan nggak tahu.”
Tangis itu tlah membuat geger. Mengusik ketenangan. Seolah-olah seperti menyayat daun telinga menjadi berkeping-keping. Seperti pula sebuah batu yang teremuk hingga hancur menjadi sebilah pasir. Berhamburan warga beranjak ke mushala, sebuah mushala yang bersebelahan dengan pasar. Mereka hanya tak ingin di kelabuhi oleh tanda tanya—yang semenjak tadi menyulutkan rasa penasaran. Suara tangis yang tiada henti.
“Ada apa, Nak? Kok nangis,” tanya seorang warga. Bernama Jeng Elmi.
“Ibu... aku mau ibu,” ucap anak itu dengan berlumur genangan air mata yang membasahi raut wajahnya.
“Ibu kamu kemana? Ayo, bapak antarin pulang!” bujuk Pak Abing seraya menghapus tetesan air mata anak itu.
“Berarti kau akan membunuhku?”
Pak Abing terkejut, “apa maksudmu, Nak?”
“Ibuku tlah pergi. Ia tlah pergi ke surga, meninggalkanku sendiri,” teriak anak itu.
Bukan hanya Pak Abing yang terkejut. Tapi juga seluruh warga yang berkerumun di dalam mushala.
“Ibu, itu kan anak dari seorang ibu yang menolongku tadi pagi. Yang tadi siang aku ceritakan pada ibu. Aku juga belum bilang kalo ibunya tlah meninggal, gara-gara menyelamatkan nyawaku. Kasihan anak itu, Bu. Ia tak punya siapa-siapa lagi.”
Kemudian Jeng Elmi menghampiri anak itu lebih dekat seraya menggandeng anaknya. “Ini anakku, Nak. Seorang yang ibu kamu tolong tadi pagi.” Anak yang masih terisak dalam tangis itu mendongak, menoleh ke arah lelaki seusianya. Ia masih ingat dengannya. “...kalo boleh ibu tahu, siapa ibumu?” lanjutnya.
“Ibu Laelasari...”
Sontak Jeng Elmi terkejut. Laelasari, adalah orang yang sangatlah ia benci, pesaingnya. Dulu, Laelasari adalah sahabatnya. Tapi semenjak dirinya dan Laelasari berdagang sama, ia sangatlah keji padanya. Layaknya seorang musuh. Ya, hanya karena dagangan Laelasari lebih laris ketimbang dagangannya. Selain itu, Laelasari juga tlah merebut orang yang ia cintai—yang telah menjadi suami Laelasari. Tapi kini, nyawa anaknya tlah di tukar dengan nyawa Laelasari. Begitu halnya dengan, kebenciannya tlah di tukar dengan pengorbanan Laelasari. Adalah perempuan penjual kerudung. (*)
---------------------------------------------------
NB: Cerpen "Perempuan Penjual Kerudung" Menjadi Juara 1 Lomba Cerpen Girls Day STAN Tingkat Nasional 2011

No comments:

Post a Comment

Radio & tv online

SKIP 94.3 FM